Invisible but intangible

on Senin, 01 April 2013
Apa yang ada di benak kalian dengan kata "Papah" atau seseorang yang menjadi tumpuan hidup keluarganya. Dulu saya berpikiran "Papah" itu adalah seseorang yang galak, egois, sombong, membosankan, dan pelit, yang membuat kesimpulan pada pikiran saya dia itu tidak bisa mengerti saya dan mau saya apa.


Banyak hal yang membuat saya menghadapi masalah-masalah yang beruntun mulai bolos sekolah dan di suruh menyusul nilai-nilai yang tidak bisa di bilang sedikit hampir semua pelajaran yang harus saya susul nilai-nalainya, seakan masa depan saya hilang, tapi datang sesosok teman yang mensupport saya untuk mengejar nilai, di situ terasa benih pertemanan yang membuat saya semangat mengejar nilai yang tertinggal.

Saputra(nama samaran) namanya, awal masuk sekolah smk saya tidak begitu kenal dengan dia orang yang pasif di kelas dan di tambah saya juga kurang bergaul dengan teman-teman di kelas karena berbagai alasan pada saat itu yang membuat saya malas sekolah apalagi bergaul.
Teman saya ini membuat terbukanya pintu hati saya untuk semakin semangat belajar tanpa saputra sadari dia memberikan experience yang banyak, saya lahir dari keluarga cukup ada, bermodal motor kadang naik angkot dan cukup uang jajan untuk menghadapi padatnya pelajaran di sekolah tapi saputra dia tinggal di kontrakan mungil dengan keluarganya setiap hari berjalan tak kenal lelah tak kenal apa itu lelah yang membuatnya tidak bermalas-malasan bersekolah.

Ada kata-kata pendek yang terbayang-bayang di pikiran saya *kamu kalah sama dia? tidak malu kamu? lemah sekali kamu! lebih berada, tapi kamu lebih lemah dari dia?* itu yang membuat saya terpacu untuk bersemangat ya nilai jelek juga gpp asal masuk itu lah yang saya pikirkan saat itu saat di mana masa-masa labilnya anak muda.

Apakah anda sering pergi bersama keluarga? kalau saya tidak, itu hal yang membosankan lebih membosankan dari pada menonton acara berita. Pasti ada pertanyaan, ko bisa? ko bosen? ya, itu salah satu alasan saya jarang berpergian dengan kaluarga, di tambah saya sering paket malam di warnet setiap malam minggu dan seakan-akan minggu pagi adalah jadwal saya tidur nyenyak yang membuat hari minggu itu semakin singkat tak terasa bahkan saya bangun saja sudah magrib yang beberapa jam lagi waktunya tidur malam. Itu kebodohan di kala labil saya di mana saya tidak memenej waktu, ya pasti berkali-kali saya di marahin tapi tak ada satu kata pun yang masuk di telinga saya seolah-olah saya tak mempunya telinga di kala saya di marahin tapi tidak sedikit saya mengeluarkan air mata yang membuat saya semakin malas mendengarkan amarah orang tua saya.

Malam minggu yang biasa menjadi ritual para gamers paket malam di warnet terhenti ketika warnet itu mengadakan maintenance, serentak kami mengeluh ke pada op "ah ga rame ah!" bahkan ada yang berkata "bakar! bakar!", joke yang membaut saya tersenyum sesaat, dan kompaknya kami tidak jadi paket malam sehingga kami berbondong-bondong untuk melangkahkan kaki dan pergi ke rumah masing-masing.

Matahari pagi yang menyinari wajah saya yang membuat mata saya terbuka seakan aneh melihat matahari pagi di hari minggu, sudah lama saya tak melihat matahari pagi di hari minggu aroma pagi hari yang saya lupakan seakan mendorong saya ke kamar mandi. Kebetulan hari ini ada acara keluarga main ke toko buku, yang membuat saya langsung menanyakan kepada mamah saya " mah jadi ke gramed?" dengan baju rapih siap untuk pergi mamah saya menjawab "ia jadi tapi ngaji dulu ke pindad", seakan tak bisa menolak saya bergegas merapihkan badan.

Seberes mengaji mendengarkan ceramah di daerah pindad keluarga kamu pergi ke gramed, seakan di mobil ada yang ganjil yang di lihat oleh papah saya dan dia berkata dengan suara menyindir "kaya yang sempit di tengah? ko jadi sempit gitu?" sepontan adik saya yang ke satu dan kedua membalas dengan senyuman karena dia takut saya marah "hmmmm" dan dengan nada membela mamah berkata dengan santai "udh pah jarang-jarang upi mau ikut!", yang satu menyindir dan ada juga yang membela.

Sampailah di parkiran mobil dan dengan santai keluarga saya berjalan menuju gramed, adik laik-laki saya bersemangat mencari mainan lego yang sering dia beli untuk menjadi kolesinya di rumah, sedangkan adik saya yang perempuan mencari novel yang pernah membuat angan-angan dia ingin menjadi penulis novel. Melihat mamah saya mencari buku-buku anak kecil dan akhir-akhir ini mamah mulai ngajar lagi di sekolah SLB, papah? papah lagi mencari buku ekonomi bentar lagi papah lulus S2 dengan jurusan ekonomi, kalau saya ngapain? etah apa yang membuat saya suka membaca (ini dulu sebelum saya suka baca).

Mencari buku bahasa inggris pusing ga ngerti, buku program males tar aja di rumah belajar mah, buku gitar ga usah ah bisa seaching di mbah google, sekian lama mencari buku yang menurut saya menarik saya teringan dengan teman saya yang suka komik, tapi tak ada yang menarik komik naruto? udh ketinggalan episode, komik conan bikin pusing bacanya dan ketika saya mencari-cari tak jelas di ujung loker paling ujung ada satu orang anak dan bapaknya yang sedang memegang buku.

Sedang apa mereka? lagi mau mencuri? atau lagi apa? perlahan tapi pasti saya mendekati mereka dengan berpura-pura membawa buku dan membacanya dengan berjalan menuju mereka saya kaget, saya malu. Bapak itu sedang memegang buku fisika untuk anaknya, ada percakapan yang tak sengaja saya dengar "rumus gaya berat adalah masa di kali gravitasi bumi" dengan nada yang rendah bapak itu mendiktekan kepada anaknya.

Jahatnya saya yang telah menuduh mereka, dan seketika saya merenung beberapa menit.

Apakah papah saya seperti itu? mingkin papah ga mau di kasihani papah ga mau kalau anakanya kasihan kepadanya. Jadi teringat dulu papah lagi sakit-sakitan dia rela tidak kedokter merelakan memakan obat warung yang harganya jauh lebih murah dan jauh lebih keras dari obat yang di berikan dokter, seakan kata-kata yang pernah terucap oleh pikiran saya *papah itu ada tapi seperti tak ada* itu hilang dan saya hapus dengan bersih mengubahnya menjadi kata-kata yang indah *papah tidak mau melihatkan penderitaannya apapun itu walau sehelai rambut*

"Memenej waktu itu susah tapi sesusah apapun itu kita harus berbagi waktu untuk keluarga, waktu untuk teman dan waktu untuk diri kita sendiri."

#JustSharing

0 comments:

Posting Komentar